Halo2x Bandung, ibukota Periangan
Halo2x Bandung, kota kenang²an
Kayaknya spirit yg dihembuskan lewat lagu perjuangan ini melengkapi semangat untuk mudik ke Bandung mengisi libur lebaran. Rencana awal berangkat Sabtu, 21 Okt dengan travel pk 09.30 namun dikarenakan kepala pusing tujuh keliling dari Jumat siang (bahkan sampai minggu malam masih keleyengan) akhirnya berangkat Minggu, 22 Okt pagi setelah ibadah pagi di Duta Injil Ambasador.
Pk 10.15 Elf warna biru meluncur dari Wijaya 7 Melawai menuju kota Kembang Bandung, di Tendean penumpang bertambah satu orang dan terakhir di halte Mampang penghuni mobil bertambah 2 (dua) orang lagi. Saat akan melanjutkan perjalanan, tiba² dari arah kanan mobil patroli DLLAJR memberhentikan kendaraan dan menilang pak sopir. Saya jadi heran, di sepanjang jalan itu tidak ada rambu lalin yg melarang kendaraan berhenti di depan halte dan sekitarnya kenapa kita kena tilang yak ? Pertanyaan tersebut gak terjawab karena saya duduk mojok di belakang dan enggan untuk berteriak ke depan, jadi saya hanya mereka – reka mungkin bapak² yg menilang tadi THR-nya blom turun atau bisa jadi kurang dikarenakan adanya pelarangan petugas pemerintahan tidak boleh menerima parcel lebaran he … he … Mobil melanjutkan perjalanan dan hanya berhenti sekali di POM bensin untuk mengisi bahan bakar.
Pk 10.30 melintasi jalan tol dalam kota yg sepi dari lalu lalang kendaraan padahal sudah H-2 sebelum lebaran, suasana yg sama terlihat sepanjang tol Jababeka hingga Cipularang. Karena mata mulai capek memperhatikan jalanan yg sepi, akhirnya ambil ancang² untuk molor dan baru terbangun menjelang Padalarang. Pk 12.15 lebih 45 detik pak sopir membayar ongkos tol di gerbang 17 Padalarang dan 10 menit kemudian kita telah keluar dari tol Pasteur … weizzzz di Bandung euy !!
Dari Siliwangi Golf di Lombok kepala muter memikirkan tempat untuk makan siang, sms si Alice yg beberapa waktu lalu sempat hilar mudik ke Bandung dikasih inputan untuk makan di Kedai Nyonya Rumah or Bakmie non halal Naripan. Hmmmm … sambil masih mikir jalan ke Belitung ‘nyetop angkot Dago – Panghegar turun di persimpangan Veteran – Sunda dan berjalan kaki ke Naripan. Sempat bimbang saat berada di lampu merah Naripan – Sunda mau nyeberang ke bakmie Naripan or nganan ke Kedai si Nyonya ? Tapi ternyata langkah terayun ke Kedai Nyonya Rumah memesan nasi timbel komplit plus marquisa squash. Resto-nya gak ramai mungkin karena lagi bulan puasa, paling seru kalo makan malam di sini karena suasana romantisnya akan lebih terasa …tapi kalo duduk sendirian romantisan sama siapa ya ? Terakhir kali dinner di sini 4 tahun lalu kali yak, waktu ultahnya kakak sepupu. Perut sudah kenyang, petualangan dimulai … gak mungkin pulang sore ke rumah karena di rumah pada puasa jadi mending pulangnya menjelang buka puasa aza hi …hi…
Di Jl Sunda, naik angkot jurusan ke Dago berhenti di BIP dan mulai hunting di sepanjang Jl Jawa terus ke Jl Banda hingga Gedung Sate, tentunya berjalan kaki di bawah terik matahari. Pk 14.15 mulai deh mutar – mutar di komplek Gedung Sate :
Gedung yg terletak di Jl Diponegoro 22 ini, pada jaman kolonial Belanda ini dikenal dengan bangunan Gouvernements Bedrijven disingkat “GB” atau Pusat Instansi Pemerintahan. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920, oleh Nona Johanna Catherina Coops putri sulung Walikota Bandung B. Coops yang didampingi Nona Petronella Roeslofsen yang mewakili Gubernur Jenderal di Batavia. Pada awal tahun 1924 Gedung Hoofdbureau PTT rampung dikerjakan, disusul dengan selesai dibangunnya Induk Gedung Sate dan Perpustakaan Tehnik yang paling lengkap di Asia Tenggara, pada bulan September 1942.
Motif arsitektur Gedung Sate merupakan paduan antara aliran Moor yang merupakan kebudayaan Spanyol dan Siam atau Thailand. Motif Spanyol terdapat pada lengkungan-lengkungan pilar seperti halnya pada rumah-rumah dengan kusen jendela atau pintu bergaya Spanyol. Sedangkan atap termasuk yang berundak-undak adalah motif gaya bangunan di Thailand. Tidaklah mengherankan, karena perancangannya J.Berger —seorang arsitek Belanda, pernah tinggal lama di ”Negeri Gajah Putih”.
Biaya untuk bangunan utamanya menghabiskan 6 juta gulden. Untuk menandai biaya pembangunan yang cukup besar pada masa itu, maka di atas atap bangunan dibuat 6 buah sate tusuk. Sejak itu masyarakat Bandung menyebut gedung yang megah dan anggun itu Gedung Sate.
2 tahun lalu, pada saat ikut PTD RKB bareng BatMus sempat naik hingga lantai atas gedung yg dijadikan teras café. Kemarin iseng menyelinap masuk gedung namun niat untuk menyusuri lantai per lantai akhirnya urung dilanjutkan karena teringat cerita noni Belanda yg suka bermain di lorong bawah. Kebayang gak sih, main sendirian di dalam gedung tua ? Puas bermain di gedung sate, saya melanjutkan perjalanan menyusuri Jl Cilamaya lewat Gazibu sampai akhirnya berbelok ke Cisangkuy. Sudah membayangkan minum yoghurt strawberry special di bawah pohon yg rindang ditemani sosis goreng, gak tahunya saat sampai di depan pagar ada pengumuman “hanya melayani take away” haiyaaaa …daripada ngiler saya beli sebungkus yoghur strawberry special yg dihabiskan sambil duduk di teras depan. Niatnya dari Cisangkuy mau menyelinap ke Museum Geologi ‘n Gedung Dwi Warna tapi kakinya mulai pegel akhirnya nyetop angkot jurusan Dago – Riung Bandung turun di Cicadas nyambung dengan angkot jurusan Ciroyom – Antapani terakhir dari terminal Antapani ngojek sampai rumah. Yg bikin surprise, masa bayar angkotnya masih Rp 1500 sementara di Jakarta bayar bemo dengan duit segitu dari pasar Bendhil sampai RS AL Minto aza pake berantem dulu sama sopirnya.
Pk 17.00 sampai juga di rumah yg menyimpan banyak kenangan selama 4 (empat) tahun di Bandung.
kapan ke ciwidey?
kapan ke ciwidey?
nah, ini dia yg blom kesampaian sampai sekrang :p
nah, ini dia yg blom kesampaian sampai sekrang :p