Pernah gak memperhatikan pengemis yg di bulan ramadhan ini jumlahnya bertambah di setiap persimpangan jalan? Sepertinya mereka juga berlomba mengumpulkan modal untuk berlebaran, bayangin coba saat lihat berita di TV ada lho yg khusus datang ke Jakarta (dan kota² besar lainnya) pada bulan puasa untuk menjadi pengemis. Awal puasa kemarin, jejeran pengemis di jembatan penyeberangan Karet aza bertambah (karena setiap hari melintas di jembatan itu, saya jadi suka memperhatikan mereka), aslinya yang mangkal di situ setiap hari adalah : 2 orang kakak beradik berumur sekitar 3 dan 5 tahunan (kadang berdua kadang sendiri²), 1 bapak² tua yg jempol kanannya dibalut dan kalau berjalan dibantu dengan tongkat dengan mengikatkan karet ke jempolnya (gak tahu kenapa ?), 1 orang bapak² tunanetra yg kalau malam akan pindah pangkalan ke jembatan penyeberangan Bendhil (hi … hi… hafal banget yak :p) dan 1 orang ibu paruh baya yg duduknya di ujung kanan jembatan.
Tiba – tiba minggu pertama ramadhan jumlahnya menjadi 7 orang, mendapat tambahan 2 orang ibu² separuh baya dan seorang anak muda hanya saja mereka tidak bertahan lama; mungkin ditegor sama yg punya pangkalan he ..he…
Dua pengemis cilik tersebut adalah anak dari seorang ibu yg sehari – hari juga suka meminta – minta di sekitar daerah Bendungan Hilir. Koq tahu sih ? Soalnya saya pernah naik bemo berbarengan dengan mereka pada saat pulang kerja dan mereka pun selesai bertugas hendak kembali ke rumah. Anak yg paling besar berumur 9 tahun selain bersekolah di salah satu SD (saya gak tanya nama sekolahnya), sepulang sekolah dia akan membantu orang tuanya mencari nafkah dengan mengemis, anak kedua berumur 5 tahun dan yg bungsu 3 tahun. Jadiii …dari hasil yg didapat, mereka telah memperhitungkan ongkos transport dari rumah ke tempat tugas sehari² juga ongkos makan si anak selama bekerja.
Hal lain mengenai sosok pengemis ini pernah saya temui di Bandung, tepatnya di perempatan Kiaracondong – Jl Jakarta. Suatu pagi saat hendak berangkat kuliah saya melihat seorang bapak dengan kaki kanan “buntung” dibalut perban yg basah oleh campuran “darah & nanah” duduk di dekat lampu merah mengharapkan rejeki dari siapa saja yg mungkin bermurah hati karena tersentuh hatinya melihat keadaan si bapak yg “malang” tersebut. Dalam hati saya cuma bilang, “kasihan banget tuh orang, tapiii apa iya itu luka beneran ?”
Ternyata dugaan saya terbukti 11 jam kemudian saat pulang kuliah saya melewati jalan yg sama daaaaannnnn surprise si bapak yg tadi tidak bisa berjalan, hanya merangkak² di jalan BERJALAN dengan gagahnya menenteng “kaki buntungnya” dan segala perlengkapan perangnya malah sempat²nya melempar senyum ke arah saya. Bujubunenggggggg!!! Tuhan ‘ngasih tubuh sehat wal’afiat tapi malah bersandiwara di depan umum, gila tuh orang ! Sejak hari itu, saya mengumumkan kepada teman, kenalan maupun sodara yg melewati jalan tersebut jangan pernah memberikan uang sepeser pun kepada bapak pengemis yg kakinya buntung di lampu merah Antapani !
Kejadian paling anyar yg saya temui Jumat, 13 Oktober 2006 pk 19.30 kemarin di persimpangan Hang Tuah – Sudirman. Dari jauh sudah terlihat ada serombongan orang berseragam oranye berdiri di tengah pembatas jalan sambil membawa sapu lidi dan pengki. Sempat kepikiran juga,”kenapa ya jalan yg segini bersihnya ditongkrongin sama petugas kebersihan segitu banyaknya (jumlahnya ada sekitar 5 – 6 orang)? Masa sih jam segini mereka sudah mulai bertugas ?” Hmmm, aneh !! Than pertanyaan terjawab pas lampu merah, taxi yg saya tumpangi ikut berhenti dan tiba – tiba salah seorang “petugas kebersihan” tersebut yg masih muda menghampiri kaca dan menadahkan tangannya.
Opo toh rek, masih muda dan kelihatan bertenaga tapi bisanya menadahkan tangan? Spontan saya menengok ke rombongan mereka yg ternyata sudah menyebar ke mobil lain yg juga antri di lampu merah. Pak sopir taxi bilang,”itu khan akal²an mereka mbak untuk mengelabui petugas biar gak digaruk, mereka ada yg men-drop ke sini”
Ck …ck…ck…hebat !! Mereka punya modal lho untuk mengemis, coba dihitung berapa biaya yg dikeluarkan untuk membuat satu stel wear-pack dengan bahan katun plus biaya sablon nama dibelakang wear-pack bertuliskan “CV Budimulya … or CV Mulyabudi …?” (sorry gak terbaca dengan jelas karena gelap), ditambah biaya sewa truk untuk mengangkut mereka dari pangkalan ke tempat operasi, ditambah berapa bahan bakar yg dihabiskan untuk mondar – mandir mengangkut mereka, ditambah biaya membeli sapu lidi/pengki/karung etc untuk perlengkapan mereka ?
Ternyata, untuk jadi seorang pengemis di jalanan pun perlu modal lhoooo !!! Bukan cuma modal tebal muka alias berani malu, ada persaingan bisnis juga nih ! He ..he…
*notes ini pindahan dari postingan salah kamar 26 Okt 2006 (masuknya review wkwk)*