Dalam suatu pertandingan pasti ada yg menang dan ada yang kalah, setiap orang yg beranimengambil keputusan terjun ke dalam arena harus siap mental untuk menerima hasil dari pertandingan atau pertarungan itu. Menang atau kalah tergantung pada banyak faktor a.l :
- Persiapan sebelum pertandingan/perlombaan : latihan, kesiapan fisik dan mental
- Performance di arena : keseragaman, kekompakan, kerja sama team, teknik bertarung, kelenturan gerak, keyakinan/rasa percaya diri saat tampil dsb
- Penilaian juri & penonton : sanggup ‘gak menghipnotis penonton untuk hanyut dalam emosi/aura yg kita tampilkan terlebih membuat juri terpana dan terpukau dengan penampilan kita untuk mendapatkan nilai lebih.
- Target yang ingin diraih : sekedar ikut meramaikan arena alias penggembira atau ingin menjadi juara
- Keunggulan & kelemahan lawan : seberapa kuat kita mengungguli lawan
- Sponsor dan supporter : siapa² aza yg berada di belakang kita
- Kesempatan/peluang : ada gak chance untuk mengungguli lawan ?
- Keberuntungan : percaya gak percaya, ini juga ‘ngaruh lho ! Biar dikata kita sudah memberikan yg terbaik kalau keberuntungan tidak berpihak pada kita yaaa … podo wae.
Akan menjadi big issue ketika juri memberikan keputusan mutlak yg menjadi haknya sebagai juri dan tidak dapat diganggu gugat tetapi membuat pemain yg berlaga dan penonton yg menyaksikan pertandingan/perlombaan bertanya – tanya terlebih kecewa dengan keputusan tersebut.
Berawal dari segala bentuk protes yg dilancarkan oleh peserta maupun kontingen dan ribuan tanya penonton terhadap penilaian juri yg dirasakan pincang atas penyelenggaraan PORCI 2006 terutama untuk cabang Marathon dan Poco – poco; maka diundanglah saya sebagai perwakilan dari peserta kedua cabang tersebut untuk berunding, mengeluarkan uneg – uneg, melancarkan aksi protes dan tentunya mendengarkan pembelaan ataupun sanggahan sampai permintaan maaf dari penyelenggara dan dewan juri. Rabu, 13 September 2006 pk 10.00 bertempat di Bintan Meeting Room; Pak Thomas (selaku ketua kontingen Marathon merangkap panitia), Meisy (selaku ketua kontingen poco – poco merangkap panitia juga) dan saya duduk mengelilingi meja meeting berhadap – hadapan dengan EO dari acara kemarin yg diwakili oleh : Ibu Fitri (boss-nya EO) didampingi oleh Firnie – Mira – Mas Juri (gak tahu namanya) selaku juri Marathon serta Mas Azis ketua dewan juri.
Saya membawa akumulasi emosi dari 11 (sebelas) orang berhadapan dengan juri yg pengennya diuyel – uyel dan di”kremes”. Koq banyak banget yg diwakili ? Yang mengikuti postingan saya dari minggu kemarin, pasti bisa mereka – reka alasannya. Yuppyyy, saya hádala peserta lari marathon merangkap anggota poco – poco. Sebagai pelari saya kecewa berat dengan sistem penilaian yg diterapkan oleh team juri sehingga banyak merugikan peserta (terutama peserta cewek), akibatnya hasil perhitungan team juri saya bilang tidak akurat. Surprise banget saat ditunjukin kertas penilaian juri, masa saya dikatakan menyelesaikan sebanyak 9 (sembilan) putaran. Hey Man ! Saya gak senang dan tidak tarima angka itu, karena saya hanya berlari sebanyak 7 (tujuh) kali putaran alias 7 x 400m. Putaran siapa tuh yg ditambahkan ke saya ?
Kalau tahu situ ‘ngasih angka lebih, saya tidak akan meninggalkan lintasan dan akan menyelesaikan lomba sampai garis finish karena saya yakin paling tidak nomor 3 bisa saya dapat. Kenapa sok yakin ? Karena saya punya target, masih full konsentrasi, masih cukup stamina untuk berlari tapi itu kan namanya gak fair buat peserta yg lain dan saya sangat menjunjung tinggi sportifitas dan kejujuran. Lagipula, saya harus siap² untuk show berikutnya ! Marah, kesel, kecewa berkecamuk jadi satu, Arrrgggghhhhhhhh, ‘ngamuk nih !! Saya bisa mengerti kalau Naomi protes, kecewa dan marah besar dengan cara penilaian team juri, bukan karena kita satu team tapi dari awal saya tahu benar persiapan dan target dia untuk perlombaan ini. Kita ikut berlari bukan sekedar sebagai penggembira agar bisa “kabur” dari kantor, dari awal pengumuman dikeluarkan yg mendaftarkan diri untuk ikut lomba lari marathon hanya tiga orang : Jean-Philip di cowok, Naomi & saya peserta cewek, kaget aza begitu 3 hari menjelang acara koq list peserta bertambah banyak sementara persyaratan dari panitia hanya 5 orang perwakilan. Gimana tuh ?? Gila aza, masa Naomi sudah hampir menyelesaikan 12 kali putaran masih dihitung 8 putaran dan disuruh untuk berlari lagi sebanyak 4 putaran ? Kalau berada di posisi dia saya juga marah besar, tanpa menempatkan diri di posisinya pun saya sudah punya segudang protes.
Sistem penilaiannya SALAH ! Dari awal saya sudah tanya,”Apa tandanya saya sudah menyelesaikan satu kali putaran?” Gak ada ! Orang disuruh lari 12x400m keliling lapangan tanpa diberi tanda sama sekali, kemarin aza di Ragunan 4 kali putaran tapi tiap sekali putaran dapat pita. Ini bukan hanya masalah jarak, tapi tenaga yg dikuras oleh para pelari .. coba deh situ rasain lari dibawah sengatan matahari yg bikini kepala puyeng, dan masih ditanyain sama juri sudah berapa putaran mbak ? Segala macam pembelaan dari pihak juri tidak mempan karena kita punya alasan kuat untuk “membantai” sanggahan mereka. Ujung – ujungnya mereka mengakui kesalahannya dan akan mengirimkan permohonan maaf. Walau itu mungkin (so pasti) tidak akan mengobati rasa kecewa secara instant dikarenakan yg dipertaruhkan kemarin adalah harga diri dan kebanggaan, setidaknya mereka mau mengakui kesalahannya. Awas lho, kalau besok – besok sistemnya masih kayak gitu.
Sesi pembantaian kedua, Pak Thomas meninggalkan ruangan meeting dan kita lanjut membahas penjurian poco – poco. Ajang pembantaian pun dimulai, suasana bertambah panas tapi tetep aza diselingi dengan bercanda, gimana sih mau protes koq malah ketawa – ketawa ? Penasaran dengan sistem penilaian juri yg menjagokan team Tamini yg jelas – jelas menampilkan cheerleaders dance bukan poco – poco atau Lebak Bulus yg gayanya aerobic simple habis sementara head office yang berhasil memukau penonton dan membuat semua peserta dari toko keoq sehingga semua orang yakin head office bakal memboyong salah satu piala tidak mendapatkan apa – apa sama sekali. Akhirnya teleconference dengan ketua juri Ibu Anika Hakim (disogok berapa tuh sama Tamini, mentang – mentang satu daerah ?).
Intinya : dari penilaian ibu Anika, team head office layak dipertimbangkan, punya keunggulan dengan penguasaan teknik sulit yg bisa dibawakan walau gak bisa dibilang sangat sempurna, performance & keserasian, kekompakan tapi ada kekurangan juga : kurang senyumlah, ada yg salahlah, goyang dangdut kita yg aduhai tidak dinilai karena melebihi ketentuan waktulah. Hei buuu !!! Musik kita aza di set untuk berhenti di menit ke-7, total tarian kita selesai sampai mengosongkan lapangan 8 menit jadiiiii kelebihan waktu dimana ? Jangan cari – cari alasan deh, kalau cuma pesertanya yg protes gak masalah … ini, semua yg menyaksikan perlombaan kemarin sangat surprise karena head office tidak mendapatkan nomor sama sekali. Harga diri dan reputasi yg jadi taruhannya. Wuihhh, esmosi booo ! Pulpen hampir patah dengar keterangan juri.
EO sudah tidak bisa ngomong lagi karena mereka sendiri kaget saat keputusan juri dibacakan kita gak disebut sama sekali, udah gitu kita “ancam” bakal dilama – lamain pembayarannya kalau perlu tagihannya “dipotong” sekalian ! Ha ..ha… yg bayar juri khan EO, tapi yg bayar EO dari head office … terus yg punya gawe memang HRD tapi budgetnya khan punya Marketing. Hayooooo !! Mau bicara apa lagi sama Meisy dan saya ? Mbak Fitri sampai ‘nyembah – nyembah minta maaf karena gak ikut campur dengan penilaian juri, tapi yg memilih juri khan dari EO ! Ha … ha … maap ya Mbak, becanda, lagipula walaupun kita kecewa kita team yg sportif koq ! Tapi kita ada tawaran terakhir : hasil rekaman kemarin saat ditransfer ke DVD tolong dipastikan bahwa team poco – poco head office tampil secara full, awas kalau terpotong. Kalau gambarnya kurang lengkap, kita akan tambahkan dengan rekaman yg dibuat oleh HRD sehingga saat diputar di plasma TV akan tampak penampilan head office dari awal latihan sampai berjuang di lapangan, FULL show lho yaaa ! Apapun akan kita lakukan untuk team, yeahhhh !
Walau akhirnya bisa tenang, tapi tetap aza ‘gak bisa mengobati rasa kecewa, pertaruhan harga diri, pengorbanan waktu & malu sama sponsor yg sudah kita porotin (gilingan, untuk mendandani kita menghabiskan dana 2,5 juta, dengan dana ‘nodong sana sini karena ogah merogoh kocek sendiri he ..he..usaha bo’). Coba bayangin, 10 (sepuluh) cewek – cewek yg biasanya beradem ria di head office mau turun ke lapangan, dan diantara mereka ada 5 (lima) orang sekertaris COMEX yg mau turun tahta berpanas ria di lapangan, mengeluarkan segenap tenaga, keringatan, tanpa memikirkan berapa biaya perawatan kulit demi suatu kebanggaan saat nama head office disebut untuk melangkah ke atas podium menerima trophy di depan para COMEX yg juga sama penasarannya karena telah rela ditinggal latihan oleh sekertarisnya. Kita gak ngejar voucher-nya koq, tapi HARGA DIRI & BEBAN MORAL bo’ ! Gimana gak, country manager dan para COMEX aza bangga melihat usaha kita mem-block pantry setiap sore selama 2 minggu berturut – turut dan disulap menjadi studio untuk latihan.
Yaaaa, kecewa sih kecewa …tapi sudahlah ! Setidaknya performance kita kemarin bisa memukau, menghibur dan menghipnotis semua penonton. Next time will be better, keep the spirit up. Go ! Go ! Go Head Office Go !